Situs
Trowulan adalah
kawasan kepurbakalaan dari
periode klasik sejarah Indonesia yang
berada di Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur. Berbagai temuan-temuan yang diangkat di sini
menunjukkan ciri-ciri pemukiman yang cukup maju. Berdasarkan kronik, prasasti, simbol, dan catatan yang
ditemukan di sekitar kawasan tersebut, diduga kuat situs ini berhubungan dengan
Kerajaan Majapahit.
Kawasan
berdirinya struktur-struktur besar (candi, makam, dan kolam) mencakup wilayah
sekitar 5 km × 5 km, dipotong oleh jalan negara yang menghubungkan kota Jombang
dan Surabaya. Namun demikian, temuan-temuan yang terpendam
diketahui berada di luar kawasan tersebut dan mencakup kawasan lebih luas,
dengan ukuran 11 km × 9 km, sehingga mencakup pula wilayah timur Kabupaten Jombang.
Situs
Trowulan telah didaftarkan untuk menjadi Situs Warisan Dunia UNESCO
sejak tahun 2009
Nama
"Trowulan" diambil dari nama kecamatan tempat ditemukannya mayoritas
struktur besar yang ada. Ada dua pendapat mengenai asal nama ini. Pendapat yang
pertama, diajukan oleh Henri Maclaine Pont,
adalah dari asal "Setra Wulan". Pendapat lain, disebut dalam Serat Darmagandhul pupuh
XX, ada tempat bernama "Sastrawulan", tempat Brawijaya, raja
Majapahit, meminta sebagai lokasi makamnya.
Kitab
perjalanan dari Tiongkok, Yingyai Shenglan, yang ditulis oleh anak buah Kapiten Cheng Ho, Ma Huan, menyebutkan bahwa Man-The-Po-i
(Majapahit) merupakan kota yang sangat besar tempat raja bermukim[3]. Apakah yang dimaksud adalah pemukiman Trowulan
tidak ada yang menyebutkan, namun berbagai temuan memberikan dugaan kuat
keterkaitan ini.
Menurut
Prapanca dalam kitab Negarakertagama; keraton Majapahit
dikelilingi tembok bata merah yang tinggi dan tebal. Di dekatnya terdapat pos
tempat para punggawa berjaga. Gerbang utama menuju keraton (kompleks istana)
terletak di sisi utara tembok, berupa gapura agung dengan pintu besar terbuat
dari besi berukir. Di depan gapura utara terdapat bangunan panjang tempat rapat
tahunan para pejabat negara, sebuah pasar, serta sebuah persimpangan jalan yang
disucikan.
Masuk
ke dalam kompleks melalui gapura utara terdapat lapangan yang dikelilingi
bangunan suci keagamaan. Pada sisi barat lapangan ini terdapat pendopo yang
dikelilingi kanal dan kolam tempat orang mandi. Pada ujung selatan lapangan ini
terdapat jajaran rumah yang dibangun diatas teras-teras berundak, rumah-rumah
ini adalah tempat tinggal para abdi dalem keraton. Sebuah gerbang lain menuju ke lapangan
ketiga yang dipenuhi bangunan dan balairung agung. Bangunan ini adalah ruang tunggu bagi para
tamu yang akan menghadap raja.
Kompleks
istana tempat tinggal raja terletak di sisi timur lapangan ini, berupa beberapa
paviliun atau pendopo yang dibangun di atas landasan bata berukir, dengan tiang
kayu besar yang diukir sangat halus dan atap yang dihiasi ornamen dari tanah
liat. Di luar istana terdapat kompleks tempat tinggal pendeta Shiwa,
bhiksu Buddha, anggota keluarga kerajaan, serta pejabat dan ningrat
(bangsawan). Lebih jauh lagi ke luar, dipisahkan oleh lapangan yang luas,
terdapat banyak kompleks bangunan kerajaan lainnya, termasuk salah satunya
kediaman Mahapatih Gajah Mada. Sampai disini penggambaran Prapanca mengenai ibu
kota Majapahit berakhir.
Sebuah
catatan dari China abad ke-15 menggambarkan istana Majapahit sangat bersih dan
terawat dengan baik. Disebutkan bahwa istana dikelilingi tembok bata merah
setinggi lebih dari 10 meter serta gapura ganda. Bangunan yang ada dalam
kompleks istana memiliki tiang kayu yang besar setinggi 10-13 meter, dengan
lantai kayu yang dilapisi tikar halus tempat orang duduk. Atap bangunan istana
terbuat dari kepingan kayu (sirap), sedangkan
atap untuk rumah rakyat kebanyakan terbuat dari ijuk atau jerami.
Sebuah
kitab tentang etiket dan tata cara istana Majapahit menggambarkan ibu kota
sebagai: "Sebuah tempat disitu kita tidak usah berjalan melalui sawah".
Relief candi dari zaman Majapahit tidak menggambarkan
suasana perkotaan, akan tetapi menggambarkan kawasan permukiman yang dikelilingi
tembok. Istilah 'kuwu' dalam Negarakertagama dimaksudkan sebagai unit
permukiman yang dikelilingi tembok, tempat penduduk tinggal dan dipimpin oleh
seorang bangsawan. Pola permukiman seperti ini merupakan ciri kota
pesisir Jawa abad ke-16 menurut keterangan para penjelajah Eropa. Diperkirakan
ibu kota Majapahit tersusun atas kumpulan banyak unit permukiman seperti ini.
Reruntuhan
kota kuno di Trowulan ditemukan pada abad ke-19. Dalam laporan Sir Thomas Stamford Raffles
yang menjabat sebagai gubernur Jawa dari 1811 sampai 1816, disebutkan bahwa:
"Terdapat reruntuhan candi.... tersebar bermil-mil jauhnya di kawasan
ini." Saat itu kawasan ini merupakan hutan jati yang lebat sehingga survei
dan penelitian yang lebih rinci tidak mungkin dilaksanakan. Meskipun demikian,
Raffles, yang sangat berminat pada sejarah dan kebudayaan Jawa, terpesona
dengan apa yang dilihatnya dan menjuluki Trowulan sebagai 'Kebanggaan Pulau
Jawa'.
Penggalian di sekitar Trowulan menunjukkan sebagian dari permukiman kuno
yang masih terkubur lumpur sungai dan endapan vulkanik
beberapa meter di bawah tanah akibat meluapnya Kali Brantas dan aktivitas Gunung Kelud. Beberapa situs arkeologi tersebar di wilayah
Kecamatan Trowulan. Beberapa situs tersebut dalam keadaan rusak, sedangkan
beberapa situs lainnya telah dipugar. Kebanyakan bangunan kuno ini terbuat dari
bahan bata merah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar